Bakaran adalah sebuah desa yang ada di kecamatan Juwana kabupaten Pati. Desa ini ada 2 yakni Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Saat ini, desa Bakaran mampu menjadi ikon Pati
yaitu dengan karya budaya masyarakat. Banyak budaya ditemukan di
Juwana, terutama didaerah ini, sehingga masyarakat menjulikinya daerah
seni budaya. Salah satu karya budaya masyarakat yang mampu menjadi
perhatian masyarakat luas adalah karya batik tulisnya.
Karya batik ini juga mampu mengangkat citra daerah. Seni batik bakaran ini berjalan sejak zaman majapahit yaitu antara abad
14 sampai sekarang. Dan sampai saat ini corak batik bakaran sangat khas
dan unik yang motifnya sangat berbeda dengan batik-batik lain walaupun
asal mulanya dari budaya batik yang sama yaitu budaya keraton. Hal ini
disebabkan karena sudah terjadi perpaduan kebudayaan pedalaman dan pesisir yang akhirnya karya masyarakat ini sangat unik.
MOTIF
BATIK TULIS BAKARAN BERDASARKAN GEOGRAFIS DAN FILOSOFis. Motif batik
tulis Bakaran bila dilihat dari segi warna mempunyai mempunyai ciri
tersendiri, yaitu warna yang mendominasi batik Bakaran Wetan adalah
hitam dan coklat. Unsur corak/motifnya beraliran pada corak motif batik
Tengahan dan bathik Pesisir. Aliran Tengahan, karena yang memperkenalkan
batik tulis pada wilayah Desa Bakaran adalah dari kalangan kerajaan
Majapahit. Dan Jenis motif tengahan ini diindikasikan pada corak batik.
Padas Gempal, Gringsing, Bregat Ireng, Sido Mukti, Sido Rukun, Namtikar,
Limanan, Blebak Kopik, Merak Ngigel, Nogo Royo, Gandrung,
Rawan,Truntum, Megel Ati, Liris, Blebak Duri, Kawung Tanjung, Kopi Pecah, Manggaran, Kedele Kecer, Puspo Baskora, ungker Cantel, blebak lung. Dan beberapa motif tengahan yang lain.
Sedangkan beraliran batik tulis pesisir karena secara
geografis letak wilayah Desa tersebut memang terdapat dipesisir pantai
dan aliran pesisir ini diindikasikan pada motif batik tulis, blebak
Urang, loek Chan. Dan beberapa motif pesisir yang lain corak tersebut
pada umumnya berbeda dengan corak batik daerah lain, baik dari segi gambar, ornament maupun warnanya. Serta pada setiap motif mempunyai makna yang sangat filosofis.
Sejarah Masyarakat
Keterampilan membatik tulis bakaran di Desa Bakaran Wetan itu punya sejarah yang melegenda. Keterampilan itu tak lepas dari buah didikan Nyi Banoewati, penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Waktu
itu, Kerajaan Majapahit diambang keruntuhannya karena wilayahnya sudah
hampir dikuasahi oleh kerajaan Islam Demak Bintoro. Nyai Banoewati
adalah salah seorang abdi dalem yang sudah memeluk agama
Islam. Yang saat itu warga keraton sangat melarang keras warganya untuk
beragama Islam. Akhirnya Sang abdi dalem ini ketahuan dan melarikan
untuk menyelamatkan diri dari hukuman raja dan sergapan prajurit.
Nyi
Banoewati bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Ki Truno, dan Ki
Dalang Becak, perempuan yang konon berparas ayu itu pergi menyusuri
pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Banoewati dan dua saudaranya
berpisah dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke
kawasan rawa-rawa yang penuh pohon druju atau sejenis semak berduri,
sedang Ki Dalang Becak menetap di Tuban.
Bersama Ki Dukut, Nyi Banoewati membuka lahan di daerah rawa-rawa itu sebagai tempat tiras
pandelikan atau tempat persembunyian. Lantaran Ki Dukut itu seorang
lelaki, ia mampu membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi
Banoewati sempit.
Tak kurang akal, Nyi Banoewati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran yang terjatuh di jarak terjauh.
Ki
Dukut menyetujui usulan itu. Jadilah kawasan Nyi Banoewati lebih luas
sehingga sebagian kawasan diberikan kepada Kek Truno yang tidak mau
babat alas. Daerah milik Nyi Banoewati dinamai Bakaran Wetan, sedang
milik Kek Truno bernama Bakaran Kulon.
Adapun Ki Dukut yang
kawasannya sangat sempit itu menamakan daerah itu Pedukuhan Alit atau
Dukutalit. Ketiga desa itu sampai sekarang tetap ada dan saling berbatasan satu dengan yang lain. Secara lebih luas lagi, kawasan itu dikenal sebagai Drujuwana (hutan druju) atau Juwana.
Di
Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun permukiman baru. Sejumlah
warga yang semula tidak mau menempati daerah berawa-rawa itu mulai
tertarik membangun permukiman di sekitar rumah Nyi Banoewati.
Nyi
Banoewati / Nyai Ageng Siti Sabirah (begitu masyarakat menyebutnya)
mendirikan masjid tanpa mihrab supaya tidak diketahui prajurit Majapahit
yang disebut Sigit. Di pendopo dan pelataran Sigit itulah Nyi Danowati
melaksanakan aktifitas agamanya dan mengajar warga membatik., motif
batik yang diajarkan Nyi Banoewati adalah motif batik Majapahit.
Misalnya, sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.
”Motif
khusus yang diciptakan Nyi Baneowati sendiri adalah motif gandrung.
Motif itu terinspirasi dari pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya,
di tiras pandelikan,” katanya.
Waktu itu Joko Pakuwon berhasil
menemukan Nyi Banoewati. Kedatangan Joko Pakuwon membuat Nyi Banoewati
yang sedang membatik melonjak gembira sehingga secara tidak sengaja
tangan Nyi Banoewati mencoret kain batik dengan canting berisi malam,
yang memang saat itu aktifitasnya disibukkan dengan membatik.
Coretan
itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi
Banoewati menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang
melambangkan kegandrungan atau kerinduan yang tidak terobati.
motif-motif
khas itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya
pun harus menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi
yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu
warna sawo matang.
Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit
ditemui. Waktu itu, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan
antarpulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para
pejabat Kawedanan Juwana. Meskipun kesulitan bahan pewarna, batik tulis
bakaran banyak peminat. Saat ini warga Bakaran selain melestarikan motif
Nyi Banoewati, mereka juga mengembangkan aneka macam motif kontemporer,
antara lain motif pohon druju (juwana), gelombang cinta, kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang.
Ada
beberapa proses, dan teknik dalam pembuatan batik bakaran, yakni mulai
dari nggirah, nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, nyolet,
mbironi, nyogo, dan nglorod. Proses ini bertahap mulai tahap pertama
sampai terakhir. Bila sudah selesai maka corak batik sudah bisa
dinikmati. Tahapan-tahapan tersebut dikerjakan perajin secara manual
tanpa ada alat-alat baru seperti cap, printing, sablon dsb.
Proses Pembatikan
Menurut
tutur masyarakat dulu nyai ageng Sabirah dan para perajin sekitar
sebelum pembatikan melakukan ritual dulu. Ada yang puasa 3 hari, ada
yang satu minggu, ada yang satu bulan ada yang 40 hari. Setelah
melakukan puasa ini perajin melakukan pertapaan/ nyep dengan tujuan
mendapatkan inspirasi/ ilham, sehingga suatu ketika atau secara
tiba-tiba tidak tersadari mendapat gambaran/ bayangan motif batik yang
akan dibuat. Biasanya motif tersebut menggambarkan kondisi masyarakat
yang ada dan memberikan pesan moral
pada masyarakat. Dan ada juga menunjukkan latar belakang si perajin itu
sendiri. Jadi setiap motif batik ada maksud dan tujuan yang diharapkan
pembatik. Atau ada pesan-pesan yang terkandung didalam motif tersebut.
Diantara prosesnya adalah;
1. Proses pendesainan. Proses ini adalah membuat gambar motif di kertas sebelum digambar di kain.
2.
Pengekuman kain. Kain sebelum digambari dan dicantingi, ini di rendam
dulu dengan lerak. Dengan tujuan agar nanti setelah diwarnai tidak akan
pudar/ Penggambaran dikain. Yakni menuangkan gambar yang sebelumnya
digambar dikertas. Gambar ini sebagai motif batik yang diinginkan.
3. Pencantingan. Kemudian setelah digambar, kain dicantingi sesuai desain gambar kain.
4. Nerusi. Nerusi ini memberikan titik-titik pada motif.
5.
Nemboki. Setelah decanting dengan malam, kain ditembok dengan malam
penuh. Penembokan kain ini untuk membuat motif retak/ motif remek pada
kain. Motif remek ini mencirikan kekhasan batik bakaran.
6. Medel.
Medel ini adalah mbironi/ memberi warna biru pada kain. Medel ini adalah
nyelup (merendam kain dalam air yang sudah diberi warna sampai beberapa
kali)
7. Pencoletan. Pencoletan ini merupakan pemberian warna bervariasi, ada yang setelah diwedel ada yang langsung.
8.
Nyogo. Nyogo adalah pemberian warna sogo. Warna sogo bakaran adalah
warna cokelat klassik. Warna ini merupakan warna klasikknya bakaran.
Diantara warna klasiiknya bakaran adalah warna putih, hitam dan cokelat.
9. Setelah pewarnaan selesai, kain diberi obat pengunci warna supaya tidak luntur atau pudar warnanya.
10.
Langkah terakhir adalah Ngolrod. Melorod atau menghilangkan malam pada
kain yang sudah terwarna. Pelorodan ini dengan menggodok kain di air
yang mendidih yang sudah dikasih obat pelorodan.
11. Setelah dilorod kain dikeringkan dan sudah bisa dinikmati motifnya.
Berikut merupakan beberapa motif batik khas bakaran juana pati :
1. Motif Bunga Dua Kupu
2. Motif Burung Sepasang
3. Motif Burung Cendrawasih
4. Motif Gandrung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar